Isnin, 27 November 2017

Kufur

KAIDAH TENTANG KUFUR PERKATAAN 2

Para ulama mengatakan : Adapun lafazh yang _sharih_, yakni yang tidak mempunyai makna kecuali hanya satu makna saja yang meniscayakan pengkafiran (mengakibatkan seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut terjerumus dalam kekufuran), maka pengucapnya dihukumi kafir seperti perkataan “Aku adalah Allah”. Bahkan meskipun kata-kata ini keluar dari seorang wali dalam keadaan hilang akalnya maka ia _dita’zir_ (ditegur dan diperingatkan), meskipun ketika itu dia tidak dalam keadaan _mukallaf_ (tidak dalam tuntutan syari'at). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh _‘Izzuddin lbnu 'Abdissalam_, karena _ta’zir_ (teguran dan peringatan) bisa berpengaruh terhadap orang yang hilang akalnya sebagaimana juga berpengaruh kepada orang yang sadar yang berakal dan sebagaimana juga berpengaruh kepada seekor hewan. Ketika seekor hewan mendadak liar dan memberontak lalu dipukul maka ia akan menahan dirinya untuk memberontak (berhenti dari memberontak), padahal hewan tersebut tidak berakal. Demikian pula seorang wali yang mengucapkan kekufuran dalam keadaan hilang akalnya ketika ditegur atau diteriaki ia akan berhenti dari apa yang dikatakannya secara naluriah, karena ia takut terhadap teguran dan peringatan tersebut.

Perlu ditegaskan bahwasanya seorang wali tidak akan keluar darinya kekufuran dalam keadaan sadar akalnya, kecuali dalam keadaan salah mengucapkan tanpa dikehendaki olehnya, karena seorang wali terjaga dari kekufuran, meskipun ia tidak terjaga dari dosa besar dan kecil. Adapun dosa besar dan kecil bisa saja terjadi bagi seorang wali, namun hal ini tidak akan berkelanjutan dan ia akan bertaubat sesegera mungkin.

Suatu ketika _Imam Junaid Al-Baghdadi_ -rhodiyallahu 'anhu- ditanya oleh seseorang : "Apakah seorang wali bisa terjatuh dalam dosa besar ?", kemudian beliau menjawab : "Allah telah berfirman :

(وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا)
[Surat Al-Ahzab 38]

maknanya : "Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku".

Maksud dari perkataan _Imam Junaid Al-Baghdadi_ adalah apabila Allah Ta'ala telah menghendaki seorang wali terjatuh dalam dosa besar, maka hal itu akan terjadi sesuai kehendak Allah, karena ketetapan Allah adalah ketetapan yang pasti berlaku.

PEMBAGIAN KUFUR YANG KETIGA : TA'THIL

Ta’thil (atheisme)*, yaitu mengingkari adanya Allah, ini adalah macam kekufuran yang paling berat.

Para 'ulama mengatakan bahwasanya setiap orang mukallaf wajib mengetahui _dalil 'aqli_ (bukti dengan akal) tentang adanya Allah subhanahu wa ta'ala secara _ijmal_ (garis besar) yaitu dengan mengatakan : "Sebuah tulisan menunjukkan akan adanya seorang penulis, begitu juga sebuah bangunan menunjukkan akan adanya orang yang membangun. Dan tulisan maupun bangunan termasuk bagian dari alam semesta maka sudah pasti adanya alam semesta ini menunjukkan akan adanya Dzat yang menciptakan yaitu Allah Ta'ala".

Adapun mengetahui _dalil aqli_ tentang adanya Allah secara _tafshili_ (terperinci) hukumnya adalah _wajib kifa'i_ yaitu apabila sebagian orang mukallaf sudah mengetahuinya maka gugurlah kewajiban bagi orang mukallaf lainnya.

Hukum orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya _(tasybih)_ adalah kufur secara pasti. Dan cara untuk menghindari _tasybih_ adalah dengan mengikuti kaidah yang pasti yaitu :

مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك

Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam hatimu, maka Allah tidak seperti yang kamu bayangkan”.

Kaidah ini telah disepakati oleh ahli kebenaran _(ahlussunnah wal jama'ah)._ Dan kaidah ini diambil dari firman Allah :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

[Surat As-Syuro : 11]

Maknanya: “Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah dari satu segi maupun semua segi”.

Dan juga dengan mencermati apa yang telah diriwayatkan dari _Abu Bakar Al-Shiddiq_ (dalam bentuk syi’ir dengan _bahar rojaz_) :

العجز عن درك الإدراك إدراك * والبحث عن ذاته كفر وإشراك

Maknanya: “Mengaku lemah untuk mengetahui hakekat Allah adalah keimanan yang sebenarnya dan mencoba mencari dzat Allah adalah kekufuran dan kesyirikan”.

Dan juga mencermati perkataan sebagian ulama : "Tidak ada yang  mengetahui hakekat Allah kecuali hanya Allah Ta’ala".

Pengetahuan kita tentang Allah (cara kita mengenal Allah) bukanlah dengan mengetahui secara keseluruhan segala tentang Allah _(ihathoh)_, akan tetapi dengan mengetahui sifat yang wajib bagi Allah seperti wajibnya Allah ta’ala bersifat _qidam_ (tidak ada permulaan bagi Allah) dan mensucikan Allah dari sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, seperti mustahil adanya sekutu bagi Allah dan mengetahui sifat yang _jaiz_ (boleh) bagi Allah ta’ala seperti menciptakan sesuatu atau tidak menciptakannya sesuai kehendak Allah.

_Imam Al-Rifa’I_ berkata :

غاية المعرفة بالله الإيقان بوجوده تعالى بلا كيف ولا مكان

Maknanya : “Puncak pengetahuan hamba tentang Allah adalah meyakini (tanpa ragu) adanya Allah Ta’ala tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk dan Allah ada tanpa membutuhkan tempat”.





_*( Abu 'Abdillah Ibnu Zubaidy Al-Bathy )*_

Wallahu a'lam

Tiada ulasan:

Catat Ulasan